Rabu, 28 Januari 2009

Gaza Menunggu Uluran Obama

Suasana ramai Kota Gaza di siang hari itu berubah drastis bila malam tiba. Kota itu mendadak sunyi dan bahkan mencekam. Pesawat pengintai Israel kerap berputar-putar di langit Gaza. Orang-orang yang di siang hari sibuk membersihkan puing rumahnya meringkuk di tenda pengungsian yang bertebaran di Gaza pada malam hari. Mereka tidur berimpitan dalam suhu yang bikin menggigil—mendekati nol derajat Celsius.

”Listrik di kawasan ini sudah dihancurkan Israel. Untuk mendapatkan air, kami harus pergi ke tempat saudara-saudara kami yang terdekat,” kata Mansur Abou Khalil, yang ditemui Tempo di kamp pengungsian di Jabaliyah Timur. Mansur yang berbaju lusuh itu kehilangan istri dan tiga anaknya.

Lebih dari 50 ribu orang kehilangan tempat tinggal akibat perang. Empat ribu bangunan hancur dan 20 ribu bangunan rusak. Juru bicara Hamas, Taher el-Nono, kepada wartawan mengatakan Hamas akan membantu sebesar US$ 5.000 (sekitar Rp 55 juta) untuk setiap bangunan yang remuk dan separuhnya untuk bangunan yang rusak. Perserikatan Bangsa-Bangsa menghitung setidaknya dibutuhkan US$ 2 miliar untuk membenahi infrastruktur Gaza yang hancur.

Pencarian mayat di balik puing-puing bangunan juga tak surut. ”Kami telah mengangkat 15 mayat anak dan wanita,” ujar Abed Sharafi, Kamis pekan lalu.

Menurut Abed, 40 tahun, tubuh-tubuh malang itu mulai membusuk sehingga mereka tak dapat membedakan anak lelaki dengan anak perempuan. Beberapa di antaranya telah berada di situ selama 15 hari, di sepanjang jalan ke utara dari Kota Gaza hingga Beit Lahiya. ”Banyak sekali mayat,” katanya.

Sekitar 100 mayat ditemukan sehari sebelum gencatan senjata. Pejabat kesehatan Gaza mencatat, penemuan itu menambah jumlah kematian akibat agresi militer Israel selama tiga pekan sejak 27 Desember tahun lalu dalam Operation Cast Lead, yang merenggut 1.330 nyawa rakyat Palestina—400 di antaranya anak-anak dan 104 perempuan. Selebihnya sekitar 5.300 orang luka-luka. Jumlah itu akan meningkat dengan penemuan mayat di puing-puing bangunan. Kematian di pihak Israel hanya 13 orang.

Dalam pidato sambutannya terhadap pernyataan gencatan senjata sepihak itu, Perdana Menteri Ehud Olmert mengatakan, ”Kami telah meraih semua tujuan perang.” Menurut Olmert, militer Israel telah menghancurkan sebagian besar kekuatan Hamas. Israel mengklaim menewaskan 700 anggota Hamas. ”Jika serangan roket ke Israel berlanjut, militer Israel akan meresponsnya dengan kekuatan.”

Olmert menghargai upaya positif Presiden Mesir Hosni Mubarak, yang juga menempatkan gerakan Hamas sebagai ancaman. Upaya melemahkan Hamas ini didukung Amerika, Prancis, Inggris, dan Jerman dengan cara menghentikan penyelundupan senjata, bahan peledak, uang, dan orang ke Gaza lewat terowongan dari Mesir.

Pemimpin Jerman, Prancis, Spanyol, Inggris, Italia, Turki, dan Republik Cek, yang memegang rotasi kepresidenan Uni Eropa, bergegas menggelar pertemuan di kawasan wisata Sharm el-Sheik, Mesir. Israel tidak mengirim wakilnya, sedangkan Hamas, yang dicap negara Barat sebagai organisasi teroris, jelas tak diundang. ”Kita harus mengakhiri perdagangan senjata,” ujar Presiden Prancis Nicolas Sarkozy.

Mereka sepakat dengan segala cara akan menghentikan penyelundupan senjata ke Gaza. Bahkan Amerika setuju melibatkan North Atlantic Treaty Organization (NATO), aliansi militer Amerika dan Uni Eropa. Meski Mesir belum menyepakati hal teknis rencana ini, lima di antara para pemimpin Eropa itu meneruskan lawatan ke Yerusalem. Dan mereka makan malam bersama Perdana Menteri Israel Ehud Olmert.

Dalam perjamuan itu, tak ada kecaman, tak ada kata-kata keras dari Presiden Sarkozy dan koleganya dari Inggris, Jerman, Spanyol, dan Italia terhadap Olmert. Mereka mematangkan pembahasan melucuti Hamas selamanya agar tak merecoki Israel. Tema pembicaraan lain: memperkuat pemerintah Presiden Mahmud Abbas yang tak mau ribut dengan Israel. Itulah perdamaian yang disiapkan negara Barat untuk Gaza.

Nun di Washington, Presiden Barack Obama, yang masih menyesuaikan diri dengan kediaman barunya, turut menyalahkan Hamas yang telah menembakkan ribuan roket ke Israel selama bertahun-tahun. ”Tak ada (negara) demokrasi yang menenggang bahaya seperti itu,” kata Obama saat berkunjung ke Departemen Luar Negeri Amerika, Jumat pekan lalu.

Obama memperingatkan Hamas, yang menguasai Gaza sejak 2007, agar segera menghentikan tembakan roketnya ke selatan Israel. Washington, kata dia, ”Akan terus mendukung Israel mempertahankan diri.”

Sembari menekan Hamas, Obama mendesak Israel membuka blokade atas Jalur Gaza agar bantuan kemanusiaan bisa masuk. ”Hati kami bersama warga sipil Palestina yang sangat membutuhkan makanan, air bersih, dan layanan kesehatan,” ujarnya.

Sikap anti-Hamas dari Obama ini disayangkan Khaled Misy’al, pemimpin Hamas di Suriah. Hamas, kata Khaled, bagaimanapun, pemenang pemilu yang sah di Palestina. ”Tak ada cara selain mengakui Hamas dan melibatkan kami dalam setiap perundingan perdamaian,” ujarnya.

Merasa mendapat angin dari Washington, Israel kembali mengancam akan menyerang Jalur Gaza jika Ha­mas tetap mengoperasikan terowongan yang menghubungkan Palestina dengan Mesir. ”Israel berhak bereaksi secara militer untuk menghancurkan terowongan-terowongan itu,” kata Menteri Luar Negeri Tzipi Livni.

Ancaman tersebut, juga reaksi Hamas—yang dalam pernyataan resminya hanya memberikan waktu sepekan bagi gencatan senjata—membuat khawatir warga Gaza. Saqar Ahmad, misalnya, cemas terhadap perdamaian di Gaza yang bersumbu pendek itu. Nelayan yang perahunya terguncang-guncang akibat tembakan meriam kapal Israel itu memandang ke laut sembari berseru, ”Ini laut kami. Kapan lagi kami bisa meneruskan hidup dari laut ini?”

Gaza Menanti Obama

Bagi Indonesia, Obama lebih dari itu. Ia merupakan harapan baru untuk mengatasi krisis finansial global yang bersumber di negara adidaya itu. Ia harapan untuk menghentikan rangkaian pertunjukan politik yang menyesakkan di Gaza. Barack Obama menawarkan sesuatu yang telah lama hilang dari kehidup­an kita: perhatian dan pengakuan dunia internasional untuk menyelesaikan masalah bersama.

Di Menteng Dalam, Jakarta, orang sibuk menapak tilas keberadaannya, seraya menghidupkan memori banyak sosok yang pernah bersilangan jalan dengannya berpuluh tahun silam. Maka kita pun ikut terhibur manakala te­tangga, teman sekolah, pengasuh, ataupun guru sekolah Obama mengenang betapa ”Indonesia” si kecil Obama. Kita senang karena Indonesia merupakan sekeping mozaik dalam kehidupan Obama. Dengan kata lain, Indonesia bagian dari orang nomor satu di negara adidaya Amerika sekarang. Bangga? Ironis? Yang terang, orang terhibur.

Obama tentu saja merupakan harapan bagi dunia yang tak berdaya menghentikan pembantaian penduduk sipil di Jalur Gaza, yang berujung pada tewasnya 1.350 orang dan 5.300 orang luka-luka. Berminggu-minggu ia menutup mulut atas tragedi Gaza hingga akhirnya sepotong pidatonya kembali memberi kita semangat: jangan-ja­ngan ia benar-benar ingin mengubah kebijakan luar negeri Amerika.

Ia mengharapkan gencatan senjata yang berumur panjang. Tentu saja kita tak bisa bermimpi sikap Amerika terhadap Israel berubah dalam semalam. Seperti pendahulunya, George W. Bush, Obama membela Israel dan menyalahkan Hamas yang menurut dia ”bertahun-tahun meluncurkan ribuan roket ke arah orang Israel yang tak berdosa”. Ia tak bicara tentang korban tak berdosa di pihak Palestina, tapi ia mengatakan hati Amerika bersama warga sipil Palestina yang membutuhkan makanan, air bersih, dan layanan kesehatan. Ia menganjurkan Hamas menghentikan aksi lontaran roketnya. Tapi, berbeda dengan Bush, Obama tak berhenti di situ. Ia menyerukan penarikan mundur segenap pasukan Israel dari Jalur Gaza ”agar pasokan bantuan dapat mengalir masuk”.

Selasa lalu, hari pertama ia bekerja, Obama langsung bersinggungan dengan masalah konflik Timur Tengah yang kompleks: Israel yang sebentar lagi menyelenggarakan pemilu (saat kepentingan politik sesaat dapat me­ngalahkan kepentingan jangka panjang), Palestina yang tidak lagi di bawah kepemimpinan tunggal, dan masih banyak lagi. Sekadar catatan, Pales­tina yang terbelah merupakan buah keberhasil­an politik divide et impera Israel, sekali­gus juga keberhasilan sebagian masyarakat inter­nasional meng­isolasi Hamas—sesuatu yang sekarang mulai menjadi bumerang.

Begitu solusi diplomasi jadi prioritas ­ke­timbang solusi militer, Hamas yang keras hati—mereka menolak meninggalkan perju­angan bersenjata dan menampik mengakui negara Israel—tak bisa dianggap angin. Harus diakui, Hamas pemenang pemilu tiga tahun lalu, dan ada harapan orang-orang mo­derat di dalam tubuh Hamas akan menyambut tawaran untuk negosiasi. Surat kabar Inggris The Guardian yang terbit dua pekan lalu menurunkan berita bahwa Obama tengah membuka jalur komunikasi dengan Hamas. Menurut sumber yang dikutip koran itu, kontak awal dengan Hamas akan dilakukan intelijen Amerika. Mirip proses rahasia tatkala Washington menjalin hubungan dengan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) pada 1970-an.

”Kita tak punya banyak waktu,” kata Obama. Dalam pidato yang sama ia menekankan pendekatan baru dengan mendudukkan dirinya sebagai koreksi terhadap pe­me­rintahan Presiden George W. Bush, yang selama ini telah mempersempit dunia diplomasi Amerika dengan gagasan ”Poros Setan”. Itu Istilah khusus bagi negara seperti Iran, Suriah, dan Korea Utara, yang dinilai mendukung te­rorisme dan menyimpan senjata pemusnah ­massal. Sebaliknya Obama sejak awal sudah membuka pintu diplomasi lebar-lebar untuk negara-negara itu. Ya, tanpa Iran dan Suriah, perdamaian Palestina-Israel sukar terwujud.

Obama menjanjikan change, perubahan. Amerika Serikat di bawah Barack Obama tetap merupakan satu-satunya negara adikuasa pada awal abad ke-21 ini. Dan kita bisa membayangkan, seandainya Obama tak beringsut dari poin-poin yang dijanjikan di atas, perubahan itu berangsur-angsur akan terjadi. Dan Amerika akan menjadi kawan Israel yang baik: menegur jika Israel berbuat salah, ketimbang melindunginya dengan pasokan senjata dan hak veto di Dewan Keamanan PBB.

Bagi kita di Indonesia, Barack Hussein Obama tentunya lebih dari sekadar nostalgia. Bila paket pemulihan ekonomi Amerika yang digerakkan dengan dana US$ 1 triliun itu berhasil, Indonesia akan mendapatkan kembali pasar yang besar bagi barang-barangnya. Dengan itu, antara lain, kita akan melewati tahun-tahun yang sulit. Dengan Obama kita berharap anak-anak Palestina berhenti merintih.